Warisan “Heritages” Karl Marx Di Hari Buruh 2025

Aditya

Mayday! Mayday! Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Bagi sebagian orang, peringatan ini sekadar simbol seremonial tahunan. Namun sejatinya, Hari Buruh harus menjadi ajang refleksi mendalam atas kenyataan pahit yang masih membelenggu kaum buruh dari masa ke masa.

Di tengah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, buruh tetap menjadi kelompok yang paling terpinggirkan, yang paling sering menjadi korban dari sistem ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir pemilik modal.

Dalam sistem kapitalisme modern, buruh bukan hanya kehilangan kontrol atas hasil kerjanya, tetapi juga semakin kehilangan hak-hak dasar yang seharusnya melekat sebagai manusia. Janji akan kesejahteraan dan kebebasan bekerja dalam kondisi yang layak kerap hanya menjadi angan-angan kosong.

Kebijakan negara pun seringkali justru menambah beban yang dipikul oleh para buruh, bukannya menjadi pelindung yang menjamin keadilan. Contoh nyata adalah kehadiran regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang telah banyak menuai kritik tajam dari berbagai kalangan pekerja. UU ini dinilai mengesampingkan kepentingan buruh, memperlemah perlindungan tenaga kerja, dan semakin mempermudah pemilik modal untuk memaksimalkan keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja.

Keadaan ini memperkuat argumen bahwa pemikiran Karl Marx masih sangat relevan untuk dibicarakan dalam konteks hari ini. Lebih dari satu abad yang lalu, Marx telah menyusun teori mengenai ketimpangan dalam relasi antara dua kelas utama dalam masyarakat industri: borjuis, yakni pemilik alat produksi, dan proletar, yakni kaum pekerja.

Marx memandang bahwa kaum borjuis menggunakan kekuasaan ekonomi mereka untuk mengendalikan seluruh proses produksi—mulai dari sumber daya, alat kerja, distribusi, hingga konsumsi—sementara kaum buruh hanya dianggap sebagai instrumen untuk menghasilkan nilai lebih bagi pemilik modal.

Dalam sistem ini, buruh tidak hanya diperas tenaganya, tetapi juga dimanipulasi eksistensinya sebagai manusia. Mereka bekerja dalam jam kerja panjang, dengan tekanan produktivitas tinggi, namun hanya menerima upah minimum yang tidak sebanding dengan kontribusi yang mereka berikan. Dalam kondisi seperti ini, buruh tidak hanya dieksploitasi secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial.

Salah satu konsep penting dalam teori Marx adalah alienasi, yaitu keterasingan yang dirasakan buruh dalam sistem kerja kapitalis. Buruh menjadi terpisah dari produk yang mereka hasilkan, dari proses kerja yang mereka jalani, dari sesama buruh, dan bahkan dari kemanusiaan mereka sendiri. Mereka merasa tidak memiliki kendali atas hidupnya karena seluruh sistem dikendalikan oleh kekuatan modal.

Perasaan tidak berdaya ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan atau motivasi, tetapi oleh sistem yang memang dirancang untuk mereduksi manusia menjadi sekadar alat produksi. Melalui pemikiran Marx, kita diajak untuk melihat lebih dalam bahwa persoalan buruh bukan sekadar persoalan upah atau jam kerja, tetapi persoalan struktural yang menyangkut relasi kekuasaan dan sistem ekonomi yang timpang.

Dalam sistem seperti ini, negara semestinya tidak boleh menjadi alat pelindung bagi pemodal, tetapi justru harus menjadi pelindung utama bagi kelompok yang paling rentan, yaitu kaum buruh. Negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk hadir secara aktif dalam menjamin hak-hak pekerja: menciptakan kebijakan yang adil, melakukan advokasi terhadap kasus ketenagakerjaan, serta memberikan sanksi tegas kepada korporasi yang melakukan eksploitasi.

Sayangnya, apa yang kita lihat hari ini justru sebaliknya. Banyak kebijakan lahir tanpa mempertimbangkan suara buruh. Proses legislasi yang tidak partisipatif, minimnya perlindungan hukum, dan lemahnya pengawasan terhadap pelanggaran ketenagakerjaan semakin mempertegas bahwa negara belum benar-benar memihak pada buruh.

Oleh karena itu, peringatan Hari Buruh 2025 harus menjadi momentum untuk menyalakan kembali semangat perjuangan kelas. Sudah saatnya negara mengambil posisi yang jelas: berpihak kepada kaum pekerja, bukan pada pemilik modal semata.

Keberpihakan itu bisa dimulai dengan membuat regulasi yang benar-benar melindungi buruh, menegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran ketenagakerjaan, serta menciptakan sistem ekonomi yang tidak semata-mata berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada pemerataan dan keadilan sosial.

Warisan pemikiran Karl Marx harus dijadikan fondasi untuk membangun kesadaran kolektif bahwa buruh adalah manusia yang bermartabat, bukan alat produksi yang bisa dieksploitasi seenaknya.

Ketika negara berani mengambil langkah konkret dan berpihak pada kaum buruh, maka kita bisa berharap lahirnya tatanan ekonomi yang lebih manusiawi—di mana setiap orang dihargai bukan karena nilai jualnya, tetapi karena kemanusiaannya.

 

Penulis: Aditya Tirta L

Sumber: Manifesto Kaum Proletar

Share this post :

Facebook
X
WhatsApp
LinkedIn

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *