Washington D.C. – Seratus hari pertama pemerintahan kedua Presiden Donald Trump kembali dipenuhi ketegangan internal, kebijakan kontroversial, dan dinamika yang memicu keresahan publik. Meski Gedung Putih kini terkesan lebih tertutup dibanding masa jabatan pertamanya, konflik di internal pemerintahan justru kian mencuat.
Ketegangan dengan Elon Musk
Di awal masa jabatan, Trump sempat memperkenalkan Elon Musk sebagai salah satu tokoh kunci dalam pemerintahannya. Namun, kolaborasi ini tak berlangsung mulus. Ketegangan muncul antara Musk dan sejumlah pejabat, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessett. Perselisihan mereka terkait penunjukan komisaris IRS berujung pada perdebatan sengit di West Wing. Banyak pihak internal menyuarakan ketidaknyamanan dan berharap Musk segera keluar dari lingkaran kekuasaan, bahkan sebelum ia menyatakan niat mundur dari sebagian tugas pemerintahan.
Skandal Keamanan Informasi di Pentagon
Menteri Pertahanan Pete Hegseth juga menjadi sorotan. Mantan pembawa acara televisi ini dianggap tidak memiliki pengalaman birokratis yang memadai. Sejumlah pejabat senior di Departemen Pertahanan diberhentikan atau mengundurkan diri, menyusul terungkapnya dua insiden di mana Hegseth membocorkan rencana militer sensitif melalui aplikasi pesan terenkripsi Signal.
Gejolak Akibat Kebijakan Tarif
Kebijakan tarif pemerintahan Trump kembali memicu gejolak ekonomi. Penasihat Perdagangan Peter Navarro dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick dikritik atas strategi perdagangan yang menyebabkan gangguan global, termasuk penurunan pasar dan tekanan pada rantai pasok. Meski Trump sempat melunak terhadap The Fed dan isu tarif, kebijakan ini tetap dinilai menimbulkan beban ekonomi bagi masyarakat.
Para ekonom memperingatkan, langkah tersebut bisa memicu inflasi dan kelangkaan barang, dari otomotif hingga tekstil. Namun, pihak Gedung Putih menilai efek ini bersifat sementara dan dibutuhkan untuk memperkuat industri dalam negeri serta menekan negara mitra agar meninjau ulang perjanjian dagang.
Janji Ekonomi yang Terkikis
Di awal masa jabatan keduanya, Trump menyatakan komitmennya untuk menurunkan harga dan memperkuat ekonomi. Namun, tiga bulan berlalu, masyarakat mulai kehilangan kesabaran. Perang dagang yang dilancarkan justru memicu volatilitas pasar, menurunkan kepercayaan konsumen, dan memperbesar kekhawatiran akan kemungkinan resesi.
Survei dari Pew Research Center menunjukkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan ekonomi Trump terus menurun, sementara jajak pendapat dari Economist/YouGov mengungkap bahwa hampir setengah warga Amerika menilai kondisi ekonomi memburuk sejak ia kembali menjabat.
Penurunan nilai investasi, melemahnya sentimen konsumen, dan ancaman inflasi menjadi indikasi merosotnya dukungan terhadap agenda ekonomi Trump. Bahkan sebagian pendukung menyatakan kekhawatiran bahwa pendekatan tarif yang agresif justru merugikan konstituen utamanya.
Pandangan dari Lingkaran Dalam
Penasihat ekonomi Trump, Stephen Moore, mengakui tantangan yang dihadapi. “Ini situasi yang mengkhawatirkan. Modal politik sangat penting untuk mendorong kebijakan, dan saat ini sedang mengalami pengikisan,” ujarnya.
Sementara itu, Marc Short—mantan Kepala Staf Wakil Presiden Mike Pence—menggambarkan situasi di Gedung Putih sebagai bentuk kekacauan yang melekat pada gaya kepemimpinan Trump. “Jika dulu ada keselarasan dalam arah kebijakan, sekarang kita menyaksikan pesan-pesan yang saling bertolak belakang tiap harinya, dari isu perdagangan hingga kebijakan luar negeri,” katanya.
Meskipun muncul berbagai spekulasi tentang potensi reshuffle, sumber internal menyatakan bahwa Trump cenderung mempertahankan loyalisnya, bahkan saat mereka mendapat tekanan dari media atau oposisi. Seorang penasihat senior menuturkan, “Jika Anda menyarankan Trump untuk memecat seseorang, itu justru memperkuat posisinya.”